Sabtu, 15 Juni 2013

Sistem Moneter Islam



 Judul Makalah             : Sistem Moneter Islam
1.    Keritik Terhadap Sistem Bunga
2.    Instrumen Moneter Islam
3.    Kebijakan Moneter Islam
4.    Alternatif Sistem Bunga


Dosen Pembimbing     : Adiarrahman,SH.I, M.SI

A.       PENDAHULUAN
            Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan (Inflation) sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkata jumlah uang beredar sangat rendah, maka kelesuan ekonomi akan terjadi (deflation). Apabila hal ini berlangsung sangat rendah, kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan pada gilirannya akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara lain melatar belakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini otoritas moneter (central banking) suatu Negara dalam mengendalikan jumlah uang beredar dalam perekonomian. Kegiatan pengendalian jumlah uang beredar tersebut lazimnya disebut dengan kebijakan moneter, yang pada dasarnya merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro yang ditempuh oleh otoritas moneter.
            Kegagalan kebijakan moneter konvensional ini tidak lain disebabkan oleh instrument dari kebijakan moneter itu sendiri. Amunisi kebijakan moneter konvensional yang teguh dengan instrument suku bunga dan pada instrument lain yang dikaitkan pula dengan suku bunga diduga sebagai penyebab dari kegagalan kebijakan moneter seutuhnya. Sehingga strategi yang signifikan untuk mengembalikan  hakikat kebijakan moneter dalam mengatur jumlah uang beredar demi tercapainya optimalisasi tingkat produksi dan stabilisasi harga dalam rangka mewujudkan kesejahteraan ialah merubah instrumen kebijakan moneter yang berdasarkan pada bunga kepada instrumen kebijakan moneter yang terhindar/terlepas dari bunga (riba).
            pandangan mengenai system moneter Islam, termasuk didalamnya kebijakan moneter melalaui pendekatan Islam. Artinya kebijakan moneter yang tidak mengikutsertakan instrument variable bunga, karena jelas dalam Islam bunga diharamkan sehingga kegelisahan mengenai instrument kebijakan moneter yang gagal karena intrumen suku bunga dapat diantisipasi melalui pendekatan instrument kebijakan moneter islam dengan menghilangkan variebel bunga. Sehingga pada akhirnya dengan tawaran instrument kebijakan moneter Islam (non interest) mampu mewujudkan tujuan ekonomi jangka pendek ataupun jangka panjang.

B.       PEMBAHASAN
1.          Keritik Terhadap Bunga
              Sikap Islam Terhadap Bunga/Riba. Riba adalah tambahan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur atas pinjaman pokoknya, sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang telah disyaratkan. Maka riba ini mengandung tiga unsur: (1) Kelebihan dari pokok pinjaman, (2) Kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran, (3) Jumlah tambahan yang disyaratkan di dalam transaksi. Maka setiap transaksi yang mengandung tiga unsur ini dinamakan riba. Dari pemaparan di atas dapat kita mengerti ketegasan Islam yang melarang praktek riba/bunga uang. Bahkan sikap Islam terhadap pelaku riba amat kerasnya sampai-sampai SWT dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadap mereka. "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian." (QS Al Baqarah: 278-279).
              Menanggapi ayat-ayat riba yang tercantum dalam QS Al Baqarah ini (khususnya ayat 279) Abdullah bin Abbas mengatakan: "Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Khilafah Islamiyah) untuk menasehati orang-orang tersebut. Akan tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka Imam dibolehkan untuk memenggal lehernya/menghukum mati." (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hal 331).
              Rasulullah SAW telah menjelaskan tingkat kekejian terhadap riba dalam sabdanya: "Riba itu 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba itu) adalah seperti seseorang yang menzinahi ibu kandungnya sendiri." (HR Ibnu Majah). "Allah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, saksi-saksi dan penulisnya." (HR Bukhari Muslim)
              Jadi, Islam sama sekali tidak mengenal kompromi terhadap riba/suku bunga. Islam mengharamkan secara pasti, malah menjadikan perkara haramnya riba itu perkara agama yang sudah diketahui halal/haramnya dalam agama secara otomatis.
              Islam melarang pengembangan usaha sekaligus pengembangan harta melalui cara riba. Sebab riba adalah upaya mengeksploitasi usaha manusia lainnya, dan ini bagian dari aktifitas yang tidak mendorong seseorang untuk bekerja keras. Bayangkan saja pada puncak krisis yang lalu, dimana suku bunga deposito mencapai 50% pertahun, seseorang yang memiliki uang Rp 100 juta misalnya, cukup mendepositokan untuk jangka waktu satu bulan, akan memperoleh bunga ribanya satu bulan Rp 4,16 juta. Berarti, tanpa bekerjapun ia akan hidup lebih dari cukup. Dan ia tidak menerima resiko sekecil apapun serta tidak peduli dari mana bank memperoleh keuntungannya agar mampu membayar bunga yang ditawarkan kepada masyarakat. Ia tidak mengerti atau pura-pura tidak tahu, bahwa bankpun meminjamkan uangnya kepada usahawan-usahawan yang giat bekerja, mengeksploitasi mereka dan menekan agar mereka harus memperoleh keuntungan lebih tinggi dari bunga pinjaman bank. Kekacauan Sektor Non Riil (Moneter) : Pangkal Krisis Ekonomi Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia juga negara-negara yang lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama antara lain;
1.        persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap US dollar), tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut.
2.        kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga alias riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang. (Rivai, Veitahzal, Buchari, Andi, 2009 : 315- 317).

2.         Instrumen Moneter Isalam
a.      Mazhab Pertama (Iqtishaduna)
             Pada awal Islam dapat dikatan bahwa tidak diperlukan suatu kebijakan moneter dikarenakan hampir tidak adanya sisterm perbankan dan minimnya penggunaan uang. Jadi tidak ada alasan yang memadai untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap  penawaran uang melalui kebijakan diskresioner. Selain itu, kredit tidak memiliki peran aktif dalam penciptaan uang, karena kredit hanya digunakan di antara para pedagang saja serta peraturan pemerintah tentang surat pinjaman (promissor ynotes) dan instrumen negosiasi (negotiable instruments) dirancang sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan sistem kredir tersebut menciptakan uang.
             Promissory notesatau  Bill of  Exchangedapat diterbitkan untuk membeli barang dan jasa ataupun untuk mendapatkan sejumlah dana segar, namun surat tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk tujuan kredit. Kreditor dapat menjual surat tersebut akan tetapi debitur tidak dapat menjual uang ataupun komoditi sebelum ia menerima surat tersebut. Karena itulah tidak ada pasar untuk jual-beli negotiable instrument, spekulasi dan penggunaan pasar uang menjadi tidak ada. Jadi sistem kredit tidak menciptakan uang.
             Instrumen lain yang digunakan pada saat ini untuk mengatur jumlah peredaran uang serta mengatur tingkat suku bunga jangka pendek (melalui jual-beli surat berharga pemerintah) jelas belum ada pada masa awal perkembangan islam. Selain itu, jelas tindakan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga tersebut bertentangan dengan ajaran islam karena adanya larangan yang berkenaan dengan riba dalam islam itu sendiri.
             Sistem yang diterapkan oleh pemerintah yang berhubungan dengan konsumsi, tabungan, dan investasi, serta perdagangan telah menciptakan instrumen otomatis untuk pelaksanaan kebijakan moneter. Pada satu sisi sistem ini menjamin keseimbangan uang dan barang/jasa dan pada sisi lainnya mencegah penggunaan tabungan untuk tujuan selain menciptakan kesejahteraan yang lebih nyata di masyarakat. Tambahan pula, adanya imbalan pahala dari Allah Swt. Untuk usaha dan bentuk kegiatan perekonomian lainnya menambahkan nilai dari kegiatan ini di mata kaum Muslimin. Alquran menggambarkan perhatian kaum Muslimin untuk penggunaan sumber daya yang telah disediakan oleh AllahSwt. Sehingga memperluas pandangan kaum Muslimin untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian. Hal tersebut telah memotivasi kaum Muslimin untuk berpartisipasi dalam kegiatan investasi dan menyalurkan kekayaaan yang dimiliki untuk hal-hal yang tidak mendapatkan hak yang terlalu istimewa melalui qard hasan, infaq dan waqaf.

b.      Mazhab Kedua (Mainstream)
             Tujuan kebijakan moneter yang diberlakukan adalah maksimisasi sumber daya (resources) yang ada agar dapat dialokasikan pada kegiatan perekonomian yang produktif. Di dalam Alquran sudah jelas bahwa kita dilarang untuk melakukan penumpukkan uang (money hoarding) yang pada akhirnya akan menjadikan uang tersebut tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kekayaan yang iddle tersebut akan menjadikan sumber dana yang pada awalnya bersifat produktif menjadi tidak produktif. Oleh sebab itu, mazhab kedua ini merancang sebuah instrumen kebijakan yang ditujukan untuk memengaruhi besar kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktivitas perekonomian secara keseluruhan.
             Telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa permintaan dalam islam dikelompokkan dalam dua morif, yaitu motif transaksi dan motif berjaga-jaga. Semakin banyak uang yang iddle, maka berarti permintaan uang untuk berjaga-jaga semakin besar, sedangkan semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap uang yang iddle berbanding terbalik dengan permintaan uang untuk berjaga-jaga.

c.      Mazhab Ketiga (Alternatif)
             Mazhab ketiga ini sangat banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran ilmiah dari Dr M.A. Choudhury. Sistem yang kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalah syuratiq process yaitu dimana suatu kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter adalah berdasarkan musyawarah sebelumnya denga otoritas sektor riil. Jadi keputusan-keputusan kebijakan moneter yang kemudian dituangkan dalam bentuk instrumen moneter biasanya adalah harmonisasi dengan kebijakan-kebijakan di sektor riil.
Secara Mendasar, Terdapat Beberapa Instrumen Kebijakan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Antara Lain :
a.      Reserve Ratio adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral.
b.      Moral Suassion  adalah Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi.
c.      Lending Ratio adalah Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
d.      Refinance Ratio adalah Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance  ratio meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
e.      Profit Sharing Ratio adalah Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis.  Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
f.        Islamic Sukuk adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akanmengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi.  Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar. Government Investment Certificate.

3.         Kebijakan Moneter Islam
              Dalam alquran maupun sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan untuk menggunakan dinnar (emas) dan dirham (perak) sebagai standar nilai tukar uang (full bodied monometallic standard). Khalifah ‘Umar bin khatab (23/644M), telah mencoba untuk memperkenalkan jenis uang dari kulit binatang . oleh beberapa fuqaha terkemuka keberadaan uang fiducier ini juga mendapat dukungan seperti Ahmad Ibn Hamball (241/855M), Ibn Hazm (456/1064M) dan ibn Taimiyah (505/1328M). Merujuk dari pendapat para fuqaha ini tidak diketemukan akan keharusan memakai emas dan perak sebagai alat pembayar, walaupun pada masa itu keberadaan full-bodied money merupakan sebuah kelaziman. Namun disamping membolehkan uang fiducier, Ibn Taimiyah mengingatkan bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan emas dari peredaran karena adanya hukum Gresham. Imam al-Ghazali (1058/1111 M) memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
              Keberadaan uang dalam sebuah perekonomian memberikan arti yang terpenting, ketidakadilan dari alat ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar uang mengakibatkan perekonomian ridak berjalan pada titik keseimbangan. Hal ini akan semakin mempersulit untuk merealisasikan keadilan dalam sosial ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ibn Khaldun mengatakan bahwa suatu negeri tidak akan mungkin mampu melakukan pembangunan secara berkesinambungan tanpa adanya keadilan dalam sistem yang dianutnya. Stabilitas harga berarti terjaminnya keadilan uang dalam fungsinya sehingga perekonomian akan relatif  berada dalam kondisi yang memungkinkan teralokasinya sumber daya secara merata, terdistribusinya pendapatan , optimum growth, full employment dan stabilitas perekonomian.
              Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa upaya regulasi untuk mengendalikan permintaan uang dengan suku bunga sebagai instrumen moneter malah akan mengakibatkan penyalahgunaaan sumber dana untuk tujuan yang tidak produktif. Regulasi yang dicirikan dengan memainkan peranan suku bunga dalam sektor makro telah membawa permintaan uang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang kurang perlu, investai yang kurang produktif dan tingginya spekulasi. Oleh karena itulah para ekonom islam lebih mengendalikan pada tiga variabel-variabel penting di dalam manajemen permintaan uang.
Variabel-variabel tersebut adalah :
a.       nilai-nilai moral
b.      lembaga-lembaga sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga
c.       tingkat keuntungan riilsebagai pengganti keberadaan suku bunga.

              Keriga variabel ini akan saling mendukung dalam mengendalikan permintaan uang. Meskipun nilai-nilai moral kurang mampu secara langsung dalam menentukan seberapa besar jumlah uang yang diminta namun variabel ini akan mengurangi sikap konsumsi yang boros dan tidak perlu, juga akan mengurangi tindakan penggunaan uang yang bersifat spekulatif. Mekanisme harga juga akan membantu mengalokasikan sumber daya pada tujuan yang lebih efisien. Keberadaan suku bunga sebagai instrumen intermediarydalam sistem keuangan dapat menjadikan pola konsumsi masyarakat di luar batas kemampuannya dan mengarahkan investasi pada bidang yang kurang produktif dan spekulatif, disebabkan sistem bunga telah gagal sebagai mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana pinjaman.    Dengan adanya tingkat keuntungan sebagai pengganti dari kevberadaan suku bunga diharapkan akan lebih mampu untuk mengarahkan pada pola permintaan uang yang ditujukan untuk konsumsi yang tidak berlebihan dan investasi yang berorientasi keuntungan di sektor riil. Berkorespondensinya ketiga variabel dalam satu sistem ini akan dapat menciptakan pola permintaan uang yang relatif stabil.
              Menurut Chapra mekanisme kebijakan moneter yang sesuai dengan syariah Islam harus mencakup enam elemen yaitu:
a.      Target Pertumbuhan M dan Mo. Setiap tahun Bank Sentral harus menentukan pertumbuhan peredaran uang (M) sesuai dengan sasaran ekonomi nasional.Pertumbuhan M terkait erat dengan pertumbuhan Mo (high powered money)uang dalam sirkulasi dan deposito pada bank sentral). Bank sentral harus mengawasi secara ketat pertumbuhan Mo yang dialokasikan untuk pemerintah, bank komersial dan lembaga keuangan sesuai proporsi yang ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi, dan sasaran dalam perekonomian Islam. Mo yang disediakan untuk bank-bank komersial terutama dalam bentuk mudharabah harus dipergunakan oleh bank sentral sebagai instrument kualitatif dan kuantitatif untuk mengendalikan kredit.
b.      Public Share of Demand Deposit (Uang giral). Dalam jumlah tertentu demand deposit bank-bank komersial (maksimum 25%) harus diserahkan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek sosial yang menguntungkan.
c.      Statutory Reserve Requirement. Bank-bank komersil diharuskan memiliki cadangan wajib dalam jumlah tertentu di Bank Sentral. Statutory reserve requirements membantu memberikan jaminan atas deposit dan sekaligus membantu penyediaan likuiditas yang memadai bagi bank. Sebaliknya, Bank Sentral harus mengganti biaya yang dikeluarkan untuk memobilisasi dana yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial ini.
d.      Credit Ceilings (Pembatasan Kredit). Kebijakan menetapkan batas kredit yang boleh dilakukan oleh bank-bank komersil untuk memberikan jaminan bahwa penciptaan kredit sesuai dengan target moneter dan menciptakan kompetisi yang sehat antar bank komersial.
e.      Alokasi Kredit Berdasarkan Nilai. Realisasi kredit harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat . Alokasi kredit mengarah pada optimisasi produksi dan distribusi barang dan jasa yang diperlukan oleh sebagian besar masyarakat. Keuntungan yang diperoleh dari pemberian kredit juga diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya jaminan kredit yang disepakati oleh pemerintah dan bank-bank komerisal untuk mengurangi risiko dan biaya yang harus ditanggung bank.
f.        Teknik Lain. Teknik kualitatif dan kuantitatif diatas harus dilengkapi dengan senjata-senjata lain untuk merealisasikan sasaran yang diperlukan termasuk diantranya himbauan moral.

4.         Alternatif Sistem Bunga
                     Profit-Loss Sharing: Solusi Islam terhadap Alternatif Pengganti Bunga  Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) ketika pemilik  modal (surplus spending unit) bekerja sama dengan pengusaha (deficit spending  unit) untuk melakukan kegiatan usaha. Apabila kegiatan usaha menghasilkan, keuntungan dibagi bersama dan apabila kegiatan usaha menderita kerugian, kerugian juga ditanggung bersama. Sistem bagi hasil ini dapat berbentuk  mudharabah atau musyarakah dengan berbagai variasinya. Dalam mudharabah terdapat kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai mudharib (pengelola). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi  ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian  mudharib. Namun, seandainya kerugian itu diakibatkan karena kelalaian  mudharib, maka mudharib juga harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut  (Antonio, 2001: 95).
                     Alternatif pengganti bunga yang lain adalah partisipasi modal (equity participation) melalui ekspektasi rate of return yang disebut sebagai musyarakah. Sektor riil merupakan sektor yang paling penting disorot dalam ekonomi Islam karena berkaitan langsung dengan peningkatan output dan akhirnya kesejahteraan masyarakat. Segala komponen dalam perekonomian diarahkan untuk mendorong sektor riil ini, baik dalam memotivasi pelaku bisnis maupun dalam hal pembiayaannya (Masyhuri, 2005: 108-109). Ekspektasi return, berbeda dengan suku bunga yang selalu dijustifikasi time value of money, namun justru dikaitkan dengan economic value of money. Dengan demikian, faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif dan efisien, maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Dengan pemanfaatan waktu sebaik-baiknya untuk bekerja dan berusaha akan menghasilkan pendapatan yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini bertentangan dengan time value of money, yang tidak secara proporsional mempertimbangkan probabilitas terjadinya deflasi, selain adanya inflasi. Karena pada realitanya, ketidakpastian (uncertainty) selalu terjadi, dan sangat menjadi tidak adil jika hanya menuntut adanya kepastian, seperti yang berlaku dalam ekonomi konvensional melalui konsep time value of money-nya. Oleh karena itu, pemodal dalam Islam tidak berhak meminta rate of return yang nilainya tetap dan tidak seorangpun berhak mendapatkan tambahan dari pokok modal yang ditanamkannya tanpa keikutsertaannya dalam menanggung resiko (Masyhuri, 2005: 109-110). Dengan demikian, menurut Ascarya (2007: 26) kedua sistem profit and loss sharing ini, baik mudharabah dan musyarakah akan mampu menjamin adanya keadilan dan tidak adanya pihak yang tereksploitasi (terdzalimi). Melalui sistem bagi hasil ini juga akan terbangun pemerataan dan kebersamaan serta menciptakan suatu tatanan ekonomi yang lebih merata.
                     Sedangkan dalam perekonomian konvensional, sistem riba, fiat money, commodity money, dan pembolehan spekulasi akan menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa resiko. Akibatnya, uang atau investasi yang seharusnya tersalur ke sektor riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sektor moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil. Selanjutnya penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang menjadi tujuan akan terhambat
                     Dengan demikian, Islam mendorong praktik profit and loss sharing (sistem bagi hasil) dan mengharamkan riba (bunga). Meskipun kedua-duanya dapat memberikan keuntungan bagi pemilik modal, namun keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Perbadaannya dapat dilihat pada tabel berikut ;


Bunga
Bagi Hasil
1.    Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan. 
2.    Besarnya presentase didasarkan  pada jumlah dana/modal yang  dipinjamkan.
3.    Bunga dapat mengambang/variabel, dan besarnya naik turun sesuai dengan naik turunnya bunga patokan atau kondisi ekonomi.
4.    Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah usaha yang dijalankan peminjam untung atau rugi.
5.    Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun keuntungan naik berlipat ganda.
6.    Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama.
1.     Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
2.     Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
3.     Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama.
4.     Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama.
5.     Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan.
6.     Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.

              Sementara itu, dengan sistem bagi hasil dan pelarangan riba dalam perekonomian Islam akan mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan lancar ke sektor riil untuk tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin terdistribusinya kekayaan dan pendapatan serta menumbuhkan sektor riil. Dengan meningkatnya produktivitas dan kesempatan bekerja dan berusaha pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan terdorong dan pada akhirnya akan tercapai kesejahteraan masyarakat.
C.       PENUTUP

                 Kebijakan moneter islam bebas riba yaitu dengan menghindari suku bunga serta menerapkan prinsip prifit and sharing pada lembaga perbankan dapat menciptakan perekonomian yang lebih stabil dan efisien. Terciptanya perekonomian yang stabil ini dikarenakan system syariah dapat meminimalisir dan melarang kegiatan – kegiatan yang non produktif, haram, berbahaya, tidak baik dan spekilatif. Kondisi ini akan mendorong pada peningkatan pemanfaatan sumber daya, mengurangI tekanan inflasi, serta menaggulangi krisis ekonomi sehingga memudahkan pencapaian tujuan – tujuan ekonomi yang telah direncanakan.
                 Meskipun fakta dan juga analisis dari berbagai ekonom menunjukkan bahwa sitem perbankan syariah yang bebas ribawi memiliki sejumlah keunggulan dan mampu mengantar suatu Negara pada tujuan yang telah dicanangkan, namun saat ini umat islam terbiasa dengan pelayanan bank konvesional yang berbasis bunga.
                 Saran kami baik pemerintah ataupun lembaga perbankan syari’ah hendaknya lebih mensosialisasikan tentang mekanisme syariah. Bila perlu menggantikan sistem moneter konvensional menjadi sistem moneter islam. Walaupun mungkin itu memerlukan proses, waktu, pro dan kontra dalam realisasinya. Dan sebagai masyarakat khususnya muslim kita harusnya lebih menyadari bahwa sudah ada pilihan melakukan kegiatan perbankan secara syariah yang lebih baik, bebas dari riba dan mendapatkan kemaslahatan baik dunia maupun akhirat.

D.      DAFTAR PUSTAKA

A.Karim, Adiwarman, 2008, Makro Ekonimi Islam, Jakarta : Pt Raja Grafindo    Persada
Amalia, Lia, 2007, Ekonomi Internasional, Yogyakarta : Graham Ilmu.

Fauzi Nugraha, Hilman, 2011, Tinjauan Alternatif-Kritis Terhadap Instrumen Kebijakan Moneter Konvensional: Pendekatan Pemikiran Umer Chapra, Http://Ekonommuhammad.Blogspot.Com/2011/06/Tinjauan-Alternatif-Kritis-Terhadap.Html.

 

Huda, Nurul Dll, 2008, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Jakarta :           Kencana          Prenada Media Group.

Oktaviani, Putree, 2012, Kebijakan Moneter Islam, Blog Happyhttp://Putreeok          aviAni.Blogspot.Com /2012/11/Kebijakan Moneter-Islam.Html.

Rivai, Veitahzal, Buchari, Andi, 2009, Islamic Ekonomics, Jakarta : Bumi Aksara.

Sukirno, Sadono, 2011, Makro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta : Pt Raja Grafindo         Persada.