“Seringkali kita mencari pembenaran diri. Mengatasnamakan itu cinta
dewasa. Hal ini lah yang terkadang menjerumuskan kita lebih dalam lagi ke
jurang yang kita ciptakan sendiri. Sadar ataupun tidak kita terlalu larut dalam
dunia kita sendiri tanpa adanya kepastian”.
Ku mulai melangkah
menuju kapal yang masih berasandar di pelabuhan. Hampir 5 jam aku menunggu
berdesak- desakan di pelabuhan ini. Dua hari terakhir ternyata cuaca buruk ombak
tinggi hampir mencapai 6 Meter. Kerumunan orang- orang dimana - mana dan mulai
berdesakan memaksa ingin lebih dahulu memasuki kapal.
Kali ini kota tujuanku
Palembang. Kota yang sekarang mulai melejit bersaing membangun fasilitas umum
seperti di Ibu kota. Aku memiliki sahabat baik disana, Diska. Mendadak aku
memohon cuti kerja. Aku butuh waktu untuk menata kembali kepingan hati yang
hampir menjadi serpihan ini. Beruntungnya si Boss mengizinkan. Masih jelas dalam
ingatanku pertengkaran hebat kemarin. Aku meminta kepastian tentang hubungan
selama ini. Berdalih mengatasnamakan cinta dewasa, sudah saling paham dan
dijalani saja tanpa adanya ikatan sah semakin membuatku jengah. Dulu kujalani
saja, toh kita sudah dewasa ini, menjalaninya dengan normal tanpa pernah berbuat
yang aneh, bahkan bergandengan tangan pun tak pernah.
Ternyata semua itu
salah, selama ini kami membuat pembenaran diri, terperangakap dalam lingkaran
perasaan yang diciptakan sendiri. Sebenarnya setahun yang lalu pernah aku
tanyakan kepastian ini. “memang kamu sudah siap menikah, bagaimana karir kamu
yang mulai naik, karir aku juga dan tentunya kamu harus merelakan ketika
nantinya mempunyai anak, kamu bisa ?, kalau aku belum”. Itulah jawaban yang dia
ucapkan. Dan kemarin pun jawabanya kurang lebih sama, walaupun saat ini dia
sudah mapan di sebuah perusahaan ternama. “kamu lupa sama mimpi kita Ra,
membangun bisnis tour travel dan kelak kita keliling dunia bersama”. Itu kata
terakhir yang diucapkanya sebelum aku mengucapkan meminta pisah.
Keputusan ini seakan
mengingatkanku pada kejadian seminggu lalu yang sangat menohok hati.
Ketika kami singgah di masjid salah satu mall, karena jam sudah menunjukan
waktunya Sholat Magrib. Selesai
sholat ada seorang ibu yang menyapa ku, “nak yang berjalan berdampingan tadi
itu suami mu kah ?”. “Bukan bu dia teman dekat saya”. Di zaman millenials ini
masih ada yang menanyakan hal yang sudah biasa. “oww.. saya pikir suaminya,
sepertinya kalian berdua bukan sekedar teman biasa, kenapa tidak menikah saja,
daripada sekarang kalian menuju mendekati zina”. Ibu itu berkata dengan lembut,
namun menusuk hingga relung hati. Tak berapa lama aku pamit undur diri terlebih
dahulu. “Oh ya kalau ada waktu luang, minggu ini ada kajian membahas tentang
itu kamu datang ya”. “Insyallah bu”. Semenjak kejadian itu aku mulai berfikir
apa iya yang kami lakukan itu sudah mendekati zina ?.
Karena masih merasa
benar akhirnya aku hadir pada kajian itu. Jelas saja kajian itu mengupas tuntas
tentang hal yang sedang kami jalanin. Pada intinya dalam Islam itu tak ada yang
namanya pacaran, tunangan, friend zone atau apalah itu, kemana- mana selalu
bersama tanpa ikatan yang sah. Dan dijelaskan juga beberapa hal tentang zina,
ternyata zina bukan tentang berzina perbuatan keji saja, ada juga zina mata,
hati perasaan dan lainya yang membuka ruang kepada seytan ikut bermaina di
dalamnya. Air mata yang sedari tadi aku tahan tak terbendung lagi, ku berlari
menuju tempat wudhu dan menangis sejadi-jadinya. “ya Allah terlalu besar dosa
yang aku lakukan bersamanya selama ini. Bahkan sampai bertahun- tahun menjalin
hubungan tanpa ikatan yang sah.
kapal pun
berlabuh, aku melanjutkan perjalanan ke
stasiun kereta api di Lampung untuk menuju tujuan akhir ke kota Palembang.
Terlihat agak rumit sepertinya, beberapa kali berhenti dan beralih angkutan umum
lainya .
Namun aku menikmatinya, setiap perjalananini, aku menemui banyak cerita- cerita tersendiri.
Namun aku menikmatinya, setiap perjalananini, aku menemui banyak cerita- cerita tersendiri.
Diska sudah menanti di
depan gerbang. "Asalamualaikum Diska, akhirnya kita bertemu lagi”. “Oh ya
kenalin ini abang aku Hanif”. Diska
memperkenalkan Abangnya, dia sangat sopan hanya menyimpukan tangan ke
dadanya seakan tak ingin bersalaman dan tersenyum. Sambutan keluarga Diska
sangat hangat, pantas saja Diska memiliki kepribadian yang baik, mungkin ini yang
diajarkan dari keluarganya yang sangat ramah tamah. Malam itu sangat syahdu,
menikmati jamuan makan malam masakan khas Palembang Pindang kepala Ikan Gabus
dan sambal mangga membuat aku terharu.
suasananya mengingatkanku kepada keluarga nan jauh di Kediri.
Setelah di kamar,
barulah aku bercerita semuanya. "Ternyata selama ini aku salah Dis, salah
menempatkan kasih sayang yang tak semestinya ada sebelum ikatan itu sah, dan
itu sudah bertahun- tahun”. Air mata mulai mengalir. “Tak mengapa Ra, berarti
Allah masih sayang sama kamu, Allah menegurmu sebelum dosa itu semakin
menggunung. Lalu bagaimana dengan si Dia, apakah kamu sudah menjelaskan alasan
kenapa kamu minta pisah?”. Aku masih bingung menjelaskanya Dis. kemarin aku
hanya meminta kejelasan hubungan ini, namun dia masih belum siap, dan aku
lansung meminta pisah”. “Harusnya kamu jelaskan pelan- pelan Ra, mungkin kalian
bisa sama- sama hijrah”. malam itu banyak nasehat yang aku dapatkan dari Diska
dan aku merasa lebih baik dari sebelumnya.
Hand phone bergetar,
terlihat itu dari si Dia. Aku mencoba berdamai dengan hati dan mulai
mendengarkan sapaanya. “Halo Sayang, kemana aja, aku khawatir dari kemarin kamu
gak ada kabar?”. “Asalamualaiku kiki, jujur aku masih sayang sama kamu ki, tapi
aku tak bisa lagi terusan begini, kasih sayang yang kita lakukan ini salah. Tak
semestinya kasih sayang ini berbunga hingga merekah ketempat yang tak
semestinya. Tanpa ada ikatan sah, kita sudah memberikan ruang pada seytan
bermain didalamnya ki.” Tangisku pun mulai pecah.
“Kamu bicara apa sih
Ra, selama ini kita tak pernah pun
melakukan hal yang aneh, toh kita sudah dewasa ini."
“Iya ki, tapi dalam
Islam tidak mengajarkan demikian, kita salah ki, jika memang kamu bilang ini
cinta dewasa, harusnya kita menikah ki agar Allah lebih restu. Aku kasih kamu
waktu untuk berfikir 2 hari dan besok ada kajian di Masjid mall yang seminggu
lalu kita datangi. Datanglah dan resapi. Jika kamu masih dengan jawaban yang
sama seperti kemarin, aku mundur ki, lebih baik kita pisah. Aku melakukan ini
karena ingin rasa kasih sayang ini benar pada tempatnya yang sah dan adanya karena Allah. Bukan karena
pembenaran diri lagi."
Ternyata Allah lebih
sayang, menunjukan kebenaran yang sesungguhnya atas keseriusan si Dia selama
ini dan aku pun mulai menata hati tuk mengikhlaskanya.
#week3
#1week1post
#WiFiRegionalJakarta