1.
Keritik Terhadap Sistem Bunga
2.
Instrumen Moneter Islam
3.
Kebijakan Moneter Islam
4.
Alternatif Sistem Bunga
Dosen
Pembimbing : Adiarrahman,SH.I, M.SI
A.
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan
harga melebihi tingkat yang diharapkan (Inflation) sehingga dalam jangka
panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkata
jumlah uang beredar sangat rendah, maka kelesuan ekonomi akan terjadi (deflation).
Apabila hal ini berlangsung sangat rendah, kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan pada gilirannya akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara
lain melatar belakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal
ini otoritas moneter (central banking) suatu Negara dalam mengendalikan
jumlah uang beredar dalam perekonomian. Kegiatan pengendalian jumlah uang
beredar tersebut lazimnya disebut dengan kebijakan moneter, yang pada dasarnya
merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro yang ditempuh
oleh otoritas moneter.
Kegagalan
kebijakan moneter konvensional ini tidak lain disebabkan oleh instrument dari
kebijakan moneter itu sendiri. Amunisi kebijakan moneter konvensional yang
teguh dengan instrument suku bunga dan pada instrument lain yang dikaitkan pula
dengan suku bunga diduga sebagai penyebab dari kegagalan kebijakan moneter seutuhnya.
Sehingga strategi yang signifikan untuk mengembalikan hakikat kebijakan moneter dalam mengatur
jumlah uang beredar demi tercapainya optimalisasi tingkat produksi dan
stabilisasi harga dalam rangka mewujudkan kesejahteraan ialah merubah instrumen
kebijakan moneter yang berdasarkan pada bunga kepada instrumen kebijakan
moneter yang terhindar/terlepas dari bunga (riba).
pandangan
mengenai system moneter Islam, termasuk didalamnya kebijakan moneter melalaui
pendekatan Islam. Artinya kebijakan moneter yang tidak mengikutsertakan
instrument variable bunga, karena jelas dalam Islam bunga diharamkan sehingga
kegelisahan mengenai instrument kebijakan moneter yang gagal karena intrumen
suku bunga dapat diantisipasi melalui pendekatan instrument kebijakan moneter
islam dengan menghilangkan variebel bunga. Sehingga pada akhirnya dengan
tawaran instrument kebijakan moneter Islam (non interest) mampu mewujudkan
tujuan ekonomi jangka pendek ataupun jangka panjang.
B.
PEMBAHASAN
1.
Keritik Terhadap Bunga
Sikap Islam Terhadap Bunga/Riba.
Riba adalah tambahan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur atas pinjaman
pokoknya, sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang telah disyaratkan. Maka
riba ini mengandung tiga unsur: (1) Kelebihan dari pokok pinjaman, (2) Kelebihan
pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran, (3) Jumlah tambahan yang
disyaratkan di dalam transaksi. Maka setiap transaksi yang mengandung tiga
unsur ini dinamakan riba. Dari pemaparan di atas dapat kita mengerti ketegasan
Islam yang melarang praktek riba/bunga uang. Bahkan sikap Islam terhadap pelaku
riba amat kerasnya sampai-sampai SWT dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadap
mereka. "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian." (QS Al
Baqarah: 278-279).
Menanggapi ayat-ayat riba yang
tercantum dalam QS Al Baqarah ini (khususnya ayat 279) Abdullah bin Abbas mengatakan:
"Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya,
maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Khilafah
Islamiyah) untuk menasehati orang-orang tersebut. Akan tetapi kalau mereka
masih tetap membandel, maka Imam dibolehkan untuk memenggal lehernya/menghukum
mati." (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hal 331).
Rasulullah SAW telah menjelaskan
tingkat kekejian terhadap riba dalam sabdanya: "Riba itu 73 macam.
Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba itu) adalah seperti
seseorang yang menzinahi ibu kandungnya sendiri." (HR Ibnu Majah).
"Allah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, saksi-saksi dan
penulisnya." (HR Bukhari Muslim)
Jadi, Islam sama sekali tidak mengenal
kompromi terhadap riba/suku bunga. Islam mengharamkan secara pasti, malah
menjadikan perkara haramnya riba itu perkara agama yang sudah diketahui
halal/haramnya dalam agama secara otomatis.
Islam melarang pengembangan usaha
sekaligus pengembangan harta melalui cara riba. Sebab riba adalah upaya mengeksploitasi
usaha manusia lainnya, dan ini bagian dari aktifitas yang tidak mendorong
seseorang untuk bekerja keras. Bayangkan saja pada puncak krisis yang lalu,
dimana suku bunga deposito mencapai 50% pertahun, seseorang yang memiliki uang
Rp 100 juta misalnya, cukup mendepositokan untuk jangka waktu satu bulan, akan
memperoleh bunga ribanya satu bulan Rp 4,16 juta. Berarti, tanpa bekerjapun ia
akan hidup lebih dari cukup. Dan ia tidak menerima resiko sekecil apapun serta
tidak peduli dari mana bank memperoleh keuntungannya agar mampu membayar bunga yang
ditawarkan kepada masyarakat. Ia tidak mengerti atau pura-pura tidak tahu,
bahwa bankpun meminjamkan uangnya kepada usahawan-usahawan yang giat bekerja,
mengeksploitasi mereka dan menekan agar mereka harus memperoleh keuntungan
lebih tinggi dari bunga pinjaman bank. Kekacauan Sektor Non Riil (Moneter) :
Pangkal Krisis Ekonomi Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia
juga negara-negara yang lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama antara
lain;
1.
persoalan mata uang, dimana nilai mata uang
suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya
rupiah terhadap US dollar), tidak pada dirinya sendiri sedemikian
sehingga nilainya tidak pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu
bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut.
2.
kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan alat
tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta
asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga alias riba dari
setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang. (Rivai, Veitahzal, Buchari,
Andi, 2009 : 315- 317).
2.
Instrumen Moneter Isalam
a.
Mazhab Pertama (Iqtishaduna)
Pada
awal Islam dapat dikatan bahwa tidak diperlukan suatu kebijakan moneter
dikarenakan hampir tidak adanya sisterm perbankan dan minimnya penggunaan uang.
Jadi tidak ada alasan yang memadai untuk melakukan perubahan-perubahan
terhadap penawaran uang melalui
kebijakan diskresioner. Selain itu, kredit tidak memiliki peran aktif dalam
penciptaan uang, karena kredit hanya digunakan di antara para pedagang saja
serta peraturan pemerintah tentang surat pinjaman (promissor ynotes) dan
instrumen negosiasi (negotiable instruments) dirancang sedemikian rupa
sehingga tidak memungkinkan sistem kredir tersebut menciptakan uang.
Promissory notesatau Bill of
Exchangedapat diterbitkan untuk membeli barang dan jasa ataupun
untuk mendapatkan sejumlah dana segar, namun surat tersebut tidak dapat
dimanfaatkan untuk tujuan kredit. Kreditor dapat menjual surat tersebut akan
tetapi debitur tidak dapat menjual uang ataupun komoditi sebelum ia menerima
surat tersebut. Karena itulah tidak ada pasar untuk jual-beli negotiable
instrument, spekulasi dan penggunaan pasar uang menjadi tidak ada. Jadi
sistem kredit tidak menciptakan uang.
Instrumen
lain yang digunakan pada saat ini untuk mengatur jumlah peredaran uang serta
mengatur tingkat suku bunga jangka pendek (melalui jual-beli surat berharga
pemerintah) jelas belum ada pada masa awal perkembangan islam. Selain itu,
jelas tindakan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga tersebut
bertentangan dengan ajaran islam karena adanya larangan yang berkenaan dengan
riba dalam islam itu sendiri.
Sistem yang diterapkan oleh
pemerintah yang berhubungan dengan konsumsi, tabungan, dan investasi, serta
perdagangan telah menciptakan instrumen otomatis untuk pelaksanaan kebijakan
moneter. Pada satu sisi sistem ini menjamin keseimbangan uang dan barang/jasa
dan pada sisi lainnya mencegah penggunaan tabungan untuk tujuan selain
menciptakan kesejahteraan yang lebih nyata di masyarakat. Tambahan pula, adanya
imbalan pahala dari Allah Swt. Untuk usaha dan bentuk kegiatan perekonomian
lainnya menambahkan nilai dari kegiatan ini di mata kaum Muslimin. Alquran
menggambarkan perhatian kaum Muslimin untuk penggunaan sumber daya yang telah
disediakan oleh AllahSwt. Sehingga memperluas pandangan kaum Muslimin untuk
ikut berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian. Hal tersebut telah memotivasi
kaum Muslimin untuk berpartisipasi dalam kegiatan investasi dan menyalurkan
kekayaaan yang dimiliki untuk hal-hal yang tidak mendapatkan hak yang terlalu
istimewa melalui qard hasan, infaq dan waqaf.
b.
Mazhab Kedua (Mainstream)
Tujuan kebijakan moneter yang
diberlakukan adalah maksimisasi sumber daya (resources) yang ada agar
dapat dialokasikan pada kegiatan perekonomian yang produktif. Di dalam Alquran
sudah jelas bahwa kita dilarang untuk melakukan penumpukkan uang (money
hoarding) yang pada akhirnya akan menjadikan uang tersebut tidak memberikan
manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Kekayaan yang iddle tersebut akan menjadikan sumber dana yang pada awalnya
bersifat produktif menjadi tidak produktif. Oleh sebab itu, mazhab kedua ini
merancang sebuah instrumen kebijakan yang ditujukan untuk memengaruhi besar
kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktivitas
perekonomian secara keseluruhan.
Telah dijelaskan pada bagian-bagian
sebelumnya bahwa permintaan dalam islam dikelompokkan dalam dua morif, yaitu
motif transaksi dan motif berjaga-jaga. Semakin banyak uang yang iddle, maka
berarti permintaan uang untuk berjaga-jaga semakin besar, sedangkan semakin
tinggi pajak yang dikenakan terhadap uang yang iddle berbanding terbalik dengan
permintaan uang untuk berjaga-jaga.
c.
Mazhab Ketiga (Alternatif)
Mazhab ketiga ini sangat banyak
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran ilmiah dari Dr M.A. Choudhury. Sistem yang
kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalah syuratiq process yaitu
dimana suatu kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter adalah berdasarkan
musyawarah sebelumnya denga otoritas sektor riil. Jadi keputusan-keputusan
kebijakan moneter yang kemudian dituangkan dalam bentuk instrumen moneter
biasanya adalah harmonisasi dengan kebijakan-kebijakan di sektor riil.
Secara Mendasar, Terdapat Beberapa Instrumen Kebijakan Moneter
Dalam Ekonomi Islam, Antara Lain :
a.
Reserve Ratio adalah
suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank
sentral.
b.
Moral Suassion adalah Bank sentral dapat
membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab
mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi.
c.
Lending Ratio adalah
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio
dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
d.
Refinance Ratio adalah Adalah
sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio meningkat,
pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance ratio
turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk
memberikan pinjaman.
e.
Profit Sharing Ratio adalah Ratio
bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu
bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai
instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang
beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
f.
Islamic Sukuk adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi,
pemerintah akanmengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke
bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi. Jadi
sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar. Government Investment Certificate.
3.
Kebijakan Moneter Islam
Dalam alquran maupun sunnah tidak
ditemukan secara spesifik keharusan untuk menggunakan dinnar (emas) dan dirham
(perak) sebagai standar nilai tukar uang (full bodied monometallic standard).
Khalifah ‘Umar bin khatab (23/644M), telah mencoba untuk memperkenalkan jenis
uang dari kulit binatang . oleh beberapa fuqaha terkemuka keberadaan uang
fiducier ini juga mendapat dukungan seperti Ahmad Ibn Hamball (241/855M), Ibn
Hazm (456/1064M) dan ibn Taimiyah (505/1328M). Merujuk dari pendapat para
fuqaha ini tidak diketemukan akan keharusan memakai emas dan perak sebagai alat
pembayar, walaupun pada masa itu keberadaan full-bodied money merupakan sebuah
kelaziman. Namun disamping membolehkan uang fiducier, Ibn Taimiyah mengingatkan
bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan emas dari
peredaran karena adanya hukum Gresham. Imam al-Ghazali (1058/1111 M)
memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau perak
selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
Keberadaan uang dalam sebuah
perekonomian memberikan arti yang terpenting, ketidakadilan dari alat ukur yang
diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar uang mengakibatkan perekonomian
ridak berjalan pada titik keseimbangan. Hal ini akan semakin mempersulit untuk
merealisasikan keadilan dalam sosial ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ibn
Khaldun mengatakan bahwa suatu negeri tidak akan mungkin mampu melakukan
pembangunan secara berkesinambungan tanpa adanya keadilan dalam sistem yang dianutnya.
Stabilitas harga berarti terjaminnya keadilan uang dalam fungsinya sehingga
perekonomian akan relatif berada dalam
kondisi yang memungkinkan teralokasinya sumber daya secara merata,
terdistribusinya pendapatan , optimum growth, full employment dan
stabilitas perekonomian.
Dengan kata lain dapat dikemukakan
bahwa upaya regulasi untuk mengendalikan permintaan uang dengan suku bunga
sebagai instrumen moneter malah akan mengakibatkan penyalahgunaaan sumber dana
untuk tujuan yang tidak produktif. Regulasi yang dicirikan dengan memainkan
peranan suku bunga dalam sektor makro telah membawa permintaan uang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan yang kurang perlu, investai yang kurang produktif dan
tingginya spekulasi. Oleh karena itulah para ekonom islam lebih mengendalikan
pada tiga variabel-variabel penting di dalam manajemen permintaan uang.
Variabel-variabel
tersebut adalah :
a. nilai-nilai
moral
b. lembaga-lembaga
sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga
c. tingkat
keuntungan riilsebagai pengganti keberadaan suku bunga.
Keriga variabel ini akan saling
mendukung dalam mengendalikan permintaan uang. Meskipun nilai-nilai moral
kurang mampu secara langsung dalam menentukan seberapa besar jumlah uang yang
diminta namun variabel ini akan mengurangi sikap konsumsi yang boros dan tidak
perlu, juga akan mengurangi tindakan penggunaan uang yang bersifat spekulatif.
Mekanisme harga juga akan membantu mengalokasikan sumber daya pada tujuan yang
lebih efisien. Keberadaan suku bunga sebagai instrumen intermediarydalam
sistem keuangan dapat menjadikan pola konsumsi masyarakat di luar batas
kemampuannya dan mengarahkan investasi pada bidang yang kurang produktif dan
spekulatif, disebabkan sistem bunga telah gagal sebagai mekanisme kontrol
terhadap penggunaan dana pinjaman. Dengan
adanya tingkat keuntungan sebagai pengganti dari kevberadaan suku bunga
diharapkan akan lebih mampu untuk mengarahkan pada pola permintaan uang yang
ditujukan untuk konsumsi yang tidak berlebihan dan investasi yang berorientasi
keuntungan di sektor riil. Berkorespondensinya ketiga variabel dalam satu
sistem ini akan dapat menciptakan pola permintaan uang yang relatif stabil.
Menurut
Chapra mekanisme kebijakan moneter yang sesuai dengan syariah Islam harus
mencakup enam elemen yaitu:
a. Target
Pertumbuhan M dan Mo. Setiap tahun Bank Sentral harus menentukan
pertumbuhan peredaran uang (M) sesuai dengan sasaran ekonomi
nasional.Pertumbuhan M terkait erat dengan pertumbuhan Mo (high powered
money)uang dalam sirkulasi dan deposito pada bank sentral). Bank sentral
harus mengawasi secara ketat pertumbuhan Mo yang dialokasikan untuk pemerintah,
bank komersial dan lembaga keuangan sesuai proporsi yang ditentukan berdasarkan
kondisi ekonomi, dan sasaran dalam perekonomian Islam. Mo yang disediakan untuk
bank-bank komersial terutama dalam bentuk mudharabah harus dipergunakan oleh
bank sentral sebagai instrument kualitatif dan kuantitatif untuk mengendalikan
kredit.
b. Public
Share of Demand Deposit (Uang giral). Dalam jumlah tertentu demand
deposit bank-bank komersial (maksimum 25%) harus diserahkan kepada pemerintah
untuk membiayai proyek-proyek sosial yang menguntungkan.
c. Statutory
Reserve Requirement. Bank-bank komersil diharuskan memiliki
cadangan wajib dalam jumlah tertentu di Bank Sentral. Statutory reserve
requirements membantu memberikan jaminan atas deposit dan sekaligus membantu
penyediaan likuiditas yang memadai bagi bank. Sebaliknya, Bank Sentral harus
mengganti biaya yang dikeluarkan untuk memobilisasi dana yang dikeluarkan oleh
bank-bank komersial ini.
d. Credit
Ceilings (Pembatasan Kredit). Kebijakan menetapkan
batas kredit yang boleh dilakukan oleh bank-bank komersil untuk memberikan
jaminan bahwa penciptaan kredit sesuai dengan target moneter dan menciptakan
kompetisi yang sehat antar bank komersial.
e. Alokasi
Kredit Berdasarkan Nilai. Realisasi kredit harus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat . Alokasi kredit mengarah pada optimisasi produksi dan
distribusi barang dan jasa yang diperlukan oleh sebagian besar masyarakat.
Keuntungan yang diperoleh dari pemberian kredit juga diperuntukkan bagi
kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya jaminan kredit yang disepakati
oleh pemerintah dan bank-bank komerisal untuk mengurangi risiko dan biaya yang
harus ditanggung bank.
f.
Teknik Lain. Teknik
kualitatif dan kuantitatif diatas harus dilengkapi dengan senjata-senjata lain
untuk merealisasikan sasaran yang diperlukan termasuk diantranya himbauan
moral.
Profit-Loss
Sharing: Solusi Islam terhadap Alternatif Pengganti
Bunga Sebagai alternatif sistem bunga
dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit
and loss sharing) ketika pemilik modal
(surplus spending unit) bekerja sama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan usaha.
Apabila kegiatan usaha menghasilkan, keuntungan dibagi bersama dan apabila
kegiatan usaha menderita kerugian, kerugian juga ditanggung bersama. Sistem
bagi hasil ini dapat berbentuk mudharabah
atau musyarakah dengan berbagai variasinya. Dalam mudharabah terdapat kerja sama
usaha antara dua pihak dimana pihak (shahibul mal) menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak lainnya sebagai mudharib (pengelola). Keuntungan usaha
secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Namun, seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kelalaian mudharib,
maka mudharib juga harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Antonio, 2001: 95).
Alternatif
pengganti bunga yang lain adalah partisipasi modal (equity participation)
melalui ekspektasi rate of return yang disebut sebagai musyarakah.
Sektor riil merupakan sektor yang paling penting disorot dalam ekonomi Islam
karena berkaitan langsung dengan peningkatan output dan akhirnya kesejahteraan
masyarakat. Segala komponen dalam perekonomian diarahkan untuk mendorong sektor
riil ini, baik dalam memotivasi pelaku bisnis maupun dalam hal pembiayaannya
(Masyhuri, 2005: 108-109). Ekspektasi return, berbeda dengan suku bunga
yang selalu dijustifikasi time value of money, namun justru dikaitkan
dengan economic value of money. Dengan demikian, faktor yang
menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin
efektif dan efisien, maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Dengan
pemanfaatan waktu sebaik-baiknya untuk bekerja dan berusaha akan menghasilkan
pendapatan yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini bertentangan dengan time
value of money, yang tidak secara proporsional mempertimbangkan
probabilitas terjadinya deflasi, selain adanya inflasi. Karena pada realitanya,
ketidakpastian (uncertainty) selalu terjadi, dan sangat menjadi tidak
adil jika hanya menuntut adanya kepastian, seperti yang berlaku dalam ekonomi
konvensional melalui konsep time value of money-nya. Oleh karena itu,
pemodal dalam Islam tidak berhak meminta rate of return yang nilainya
tetap dan tidak seorangpun berhak mendapatkan tambahan dari pokok modal yang
ditanamkannya tanpa keikutsertaannya dalam menanggung resiko (Masyhuri, 2005:
109-110). Dengan demikian, menurut Ascarya (2007: 26) kedua sistem profit
and loss sharing ini, baik mudharabah dan musyarakah akan mampu menjamin adanya
keadilan dan tidak adanya pihak yang tereksploitasi (terdzalimi). Melalui
sistem bagi hasil ini juga akan terbangun pemerataan dan kebersamaan serta
menciptakan suatu tatanan ekonomi yang lebih merata.
Sedangkan
dalam perekonomian konvensional, sistem riba, fiat money, commodity money,
dan pembolehan spekulasi akan menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral)
dan tersedotnya uang di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa resiko.
Akibatnya, uang atau investasi yang seharusnya tersalur ke sektor riil untuk
tujuan produktif sebagian besar lari ke sektor moneter dan menghambat
pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil. Selanjutnya penciptaan uang tanpa
adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi. Pada akhirnya, pertumbuhan
ekonomi yang menjadi tujuan akan terhambat
Dengan
demikian, Islam mendorong praktik profit and loss sharing (sistem bagi
hasil) dan mengharamkan riba (bunga). Meskipun kedua-duanya dapat memberikan
keuntungan bagi pemilik modal, namun keduanya memiliki perbedaan yang sangat
mendasar. Perbadaannya dapat dilihat pada tabel berikut ;
Bunga
|
Bagi
Hasil
|
1.
Penentuan bunga dibuat pada waktu
akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan.
2.
Besarnya presentase didasarkan pada jumlah dana/modal yang dipinjamkan.
3.
Bunga dapat mengambang/variabel,
dan besarnya naik turun sesuai dengan naik turunnya bunga patokan atau
kondisi ekonomi.
4.
Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah usaha yang dijalankan peminjam untung
atau rugi.
5.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
meskipun keuntungan naik berlipat ganda.
6.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak
dikecam) oleh semua agama.
|
1.
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil
disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
2.
Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada
jumlah keuntungan yang diperoleh.
3.
Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama
akad masih berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama.
4.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha
yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama.
5.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan
peningkatan keuntungan.
6.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi
hasil.
|
Sementara
itu, dengan sistem bagi hasil dan pelarangan riba dalam perekonomian Islam akan
mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan lancar ke sektor riil untuk
tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin terdistribusinya
kekayaan dan pendapatan serta menumbuhkan sektor riil. Dengan meningkatnya
produktivitas dan kesempatan bekerja dan berusaha pada akhirnya pertumbuhan
ekonomi akan terdorong dan pada akhirnya akan tercapai kesejahteraan
masyarakat.
C.
PENUTUP
Kebijakan moneter islam bebas
riba yaitu dengan menghindari suku bunga serta menerapkan prinsip prifit and
sharing pada lembaga perbankan dapat menciptakan perekonomian yang lebih stabil
dan efisien. Terciptanya perekonomian yang
stabil ini dikarenakan system syariah dapat meminimalisir dan melarang kegiatan
– kegiatan yang non produktif, haram, berbahaya, tidak baik dan spekilatif.
Kondisi ini akan mendorong pada peningkatan pemanfaatan sumber daya, mengurangI
tekanan inflasi, serta menaggulangi krisis ekonomi sehingga memudahkan
pencapaian tujuan – tujuan ekonomi yang telah direncanakan.
Meskipun fakta dan juga
analisis dari berbagai ekonom menunjukkan bahwa sitem perbankan syariah yang
bebas ribawi memiliki sejumlah keunggulan dan mampu mengantar suatu Negara pada
tujuan yang telah dicanangkan, namun saat ini umat islam terbiasa dengan
pelayanan bank konvesional yang berbasis bunga.
Saran kami baik pemerintah
ataupun lembaga perbankan syari’ah hendaknya lebih mensosialisasikan tentang
mekanisme syariah. Bila perlu menggantikan sistem moneter konvensional menjadi
sistem moneter islam. Walaupun mungkin itu memerlukan proses, waktu, pro dan
kontra dalam realisasinya. Dan sebagai masyarakat khususnya muslim kita
harusnya lebih menyadari bahwa sudah ada pilihan melakukan kegiatan perbankan
secara syariah yang lebih baik, bebas dari riba dan mendapatkan kemaslahatan
baik dunia maupun akhirat.
D.
DAFTAR PUSTAKA
A.Karim, Adiwarman,
2008, Makro Ekonimi Islam, Jakarta : Pt Raja
Grafindo Persada
Amalia, Lia, 2007, Ekonomi
Internasional, Yogyakarta : Graham Ilmu.
Fauzi
Nugraha, Hilman, 2011, Tinjauan Alternatif-Kritis
Terhadap Instrumen Kebijakan Moneter Konvensional: Pendekatan Pemikiran Umer
Chapra, Http://Ekonommuhammad.Blogspot.Com/2011/06/Tinjauan-Alternatif-Kritis-Terhadap.Html.
Huda, Nurul Dll, 2008, Ekonomi
Makro Islam Pendekatan Teoritis, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Oktaviani, Putree, 2012, Kebijakan Moneter Islam, Blog Happyhttp://Putreeok aviAni.Blogspot.Com /2012/11/Kebijakan Moneter-Islam.Html.
Rivai, Veitahzal, Buchari, Andi, 2009, Islamic
Ekonomics, Jakarta : Bumi Aksara.
Sukirno,
Sadono, 2011, Makro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta : Pt Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar