Jumat, 22 Desember 2017

Pena Warisan Kakek

Pena Warisan Kakek

Tangisku pecah tak tertahan, di akhir acara, aku melantunkan syair puisi di halaman terakhir buku ini. Saat ini aku sedang mengisi acara bedah buku "Kasih hingga ke Syurga".  Ini buku pertamaku dan yang terakhir buat kakek. Kami berdua yang menulisnya, sebagai tanda cinta kakek pada nenek.

di penghujung acara, aku menuntaskan janji pada peserta, untuk memberikan tanda tangan satu persatu dengan menggunakan pena warisan kakek. Semua penasaran pada pena ini. Pena ini ibarat mood booster untukku. Begitu berharganya pena ini. Tak lupa kuselipkan nama kakek di sebelah tanda tanganku di setiap bukunya.

Masih teringat jelas diingatanku, kakek berpulang tepat di pangkuanku. Pada hari ke 40 nenek meninggal, pagi itu setelah sarapan pagi, kami bergegas ke meja kerja kakek, tak sabar ingin menyelesaikan tulisan kisah cinta indahnya bersama nenek. Aku membantunya merangkai kata dan menyalinnya ke dalam "Laptop".

"Nay coba ambilkan pena kakek di atas lemari di sampingmu" (pinta kakek). Tak beberapa lama pena pun sudah di tangan kakek. Kami mencoba menuliskan puisi buat nenek, nenek seorang kekasih yang hebat, ibu yang kuat serta nenek yang selalu dirindukan semua cucunya.

Walau zaman sudah canggih, menulis tak perlu pakai pena, bisa langsung ketik di "laptop", kakek tetap ingin menuliskan semua kisahnya di dalam buku. Pernah aku berkata " kek, bagaimana kalau kakek cerita, nanti aku langsung menyalinnya di dalam laptop".  Kakek tak mau, ia ingin ceritanya langsung ada di buku. Dan jadi warisan berharga yang langsung bisa di baca cucu- cucunya.

Bait demi bait kami rangkai dengan indah, kakek menuliskan dengan pena tinta kesayangannya dan aku langsung menyalinnya.
Tiba- tiba kakek berhenti menulis, "Nay jika nanti kakek juga tak ada lagi, tulisan ini belum selesai, kamu harus selesaikan ya, dan harus menuliskanya disini menggunakan pena ini". (ujar kakek sambil menunjuk penanya). "kakek kok bicara begitu, pokoknya kita menulis ini harus sampai selesai dan sampai di cetak ya". (Sambil memeluk kakek, memberi semangat kepadanya).

Semenjak nenek berpulang, kakek sering murung, sering memandangi album kenangan mereka berdua. Maka dari itu aku mengajak kakek menuangkan kisahnya menjadi sebuah tulisan.

"Nay kaki kakek dingin, tolong kecilkan AC- nya dan tolong ambilkan selimut di atas meja ya." (pinta kakek) .  Tiba- tiba kakek merasa dingin, aku khawatir karena beberapa hari ini kakek terlihat kurang sehat. Setiba aku di samping kakek dan ingin menyelimuti kakinya, pena sudah jatuh di atas buku, kakek terlihat lemas. "kek, kenapa?"(tanya ku). Ia terlihat sesak, keringat  bermunculan bak butiran jagung. "Kita kerumah sakit ya" aku segera mengambil telepon yang ada di sampingku, tapi tangan kakek menarik tanganku "Tidak usah Nay, ini sudah waktunya kakek menemui nenek mu.  Maaf Nay, kamu harus menyelesaikanya sendiri cerita ini, pena ini kakek wariskan kepadamu" (sambil mengambil kembali pena yang jatuh tadi dan
mengulurkanya ke tanganku).

Tangisku tak tertahan lagi, "kek jangan begitu, Nay tak sanggup menyelesaikanya sendiri". Namun tubuh kakek pun sudah lemas di pangkuanku. Ku raba denyut nadinya, ku mencoba mendengarkan detak jantungnya, ku sentuh hidungnya, semua tak terasa, dia benar- benar sudah tak ada lagi.

#Day27
#30DWCJilid10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar